Beranda | Artikel
Bidah-Bidah di Bulan Muharram
Kamis, 4 Agustus 2022

BID’AH-BID’AH DI BULAN MUHARRAM

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi terakhir yang tidak ada lagi nabi setelahnya.

Bid’ah Kesedihan Pada Rofidhah (Syi’ah)
Pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, yang dikenal dengan Asyuro, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan al-Husain bin Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhoi keduanya) dengan kesyahidan, di tahun 61 H. Kesyahidannya merupakan salah satu yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat kedudukannya dan meninggikan derajatnya. Dia dan saudaranya al-Hasan adalah dua pemimpin muda penghuni syurga. Kedudukan yang tinggi tidak didapat akan kecuali dengan cobaan, hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Siapa orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صَلاَبَةٌ زِيدَ فِى بَلاَئِهِ وَإِنَ كَانَ فِى دِينِه رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ وَمَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِىَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Para nabi, kemudian orang-orang sholeh, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya. Jika pada agamanya kuat, ditambahlah ujiannya. Jika pada agamanya ada kelemahan diringankan ujiannya. Ujian bagi seorang mukmin tidak akan berhenti hingga dia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa.”

Al-Hasan dan al-Husain (semoga Allah meridhoi keduanya) telah terlebih dulu memiliki kedudukan yang tinggi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Keduanya tidak mengalami cobaan seperti yang dialami generasi pertama. Keduanya dilahirkan di masa kejayaan Islam. Diasuh dalam kehormatan dan kemuliaan. Kaum muslimin menghormati dan memuliakan keduanya. Ketika Nabi wafat, keduanya masih kanak-kanak. Diantara nikmat Allah yang Dia berikan kepada keduanya adalah Allah berikan ujian dengan apa yang terjadi atas ahlulbaitnya  (keluarga Nabi). Sebagaimana orang yang lebih baik dari keduanya telah diuji. Ali Ibnu Abi Thalib Radhiyallahu anhu (ayah dari al-Hasan dan al-Husain) lebih baik dari keduanya, dia mati syahid terbunuh.

Kematian al-Husain menyebabkan fitnah besar ditengah kaum muslimin. Sebagaimana terbunuhnya Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu adalah sebab terbesar berkobarnya fitnah. Umat menjadi tercabik-cabik hingga hari ini karenanya.

Ketika Abdurrahman bin Maljam membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, pemimpin kaum mukminin ketika itu, para sahabat Nabi membaiat[1] al-Hasan, putra Ali, yang telah dikatakan oleh Nabi,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْن عَظِيْمَتَيْن مِنَ اْلُمسْلِمِيْنَ

“Sesungguhnya anakku[2] ini adalah sayyid, Allah akan menjadikannya pendamai dua kubu besar kaum muslimin yang saling berseteru.”

Al-Hasan melepaskan haknya dari kepemimpinan, sehingga Allah mendamaikan antara dua kubu kaum muslimin[3]. Kemudian dia wafat.

Lalu muncullah kelompok yang membuat surat pernyataan kepada al-Husain, yang menjanjikan akan memenangkan dan menolongnya jika mau merebut kepemimpinan. Tetapi hakikatnya tidaklah seperti yang dijanjikan. Bahkan ketika al-Husain mengirim sepupunya kepada mereka, mereka mengingkari janji dan membatalkan kesepakatan. Bahkan mereka membantu musuhnya untuk menyerahkannya kepada lawannya dengan (seolah-olah) berperang bersamanya.

Ketika itu para cendikia dan pencinta al-Husain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan selain keduanya telah memperingatkan untuk jangan pergi bergabung bersama mereka. Tetapi al-Husain tidak menggubrisnya. Para cendikia menilai bahwa keluarnya al-Husain tidak mengandung kemaslahatan, tidak pula menyongsong kebahagiaan. Dan pada akhirnya terjadilah apa yang telah dikhawatirkan. Sungguh ketetapan Allah telah ditakdirkan dan ditentukan.

Ketika al-Husain Radhiyallahu anhuma keluar dan melihat bahwa keadaannya telah berubah, dia minta agar diundang untuk berdamai atau memerangi para penghianat atau menemui sepupunya Yazid. Tetapi semua permintaannya ditolak. Sampai mereka melakukan kongkalikong dan memeranginya sehingga beliaupun memerangi mereka, walau akhirnya terbunuh bersama dengan orang-orang yang ada bersamanya, terbunuh secara zalim dan menemui kesyahidan. Allah memuliakannya dengan kesyahidan itu. Dipertemukan dengan ahlulbaitnya (keluarganya) yang baik lagi suci (diakhirat). Dan Allah menghinakan mereka yang mendzalimi dan mengkhianatinya.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya keburukan ditengah manusia. Sehingga muncullah kelompok yang jahil lagi zalim, kelompok yang mulhid (kafir) lagi munafik atau dhoolah (sesat) lagi qhawiah (melampaui batas), menampakkan loyalitas kepada ahlulbait dan menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Pada hari itu dinampakkan syi’ar jahiliah seperti menampar-nampar wajah, mencabik pakaian dan berbelasungkawa dengan cara jahiliah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dengan kematian al-Husain setan membuat dua bid’ah di tengah manusia: bid’ah kesedihan dan ratapan pada hari Asyuro dengan menampar-nampar wajah, menjerit-jerit, menangis, bersin-bersin dan membuat acara nostalgia. Semua itu menggiring kepada mencela dan melaknat generasi salaf dan mengaitkan mereka yang tidak terlibat menjadi para pendosa. Sampai-sampai mereka mencela generasi pertama Islam. Membacakan kisah-kisah yang kebanyakannya adalah dusta. Maksud mereka melakukan hal-hal itu adalah untuk membuka pintu perpecahan di antara ummat. Apa yang mereka lakukan (pada hari asyuro) bukanlah hal yang wajib, tidak pula mustahabbah (disukai) menurut kesepakatan kaum muslimin. Perbuatan-perbuatan itu hanyalah ingin mengenang dan meratapi musibah masa lalu yang merupakan perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (selesai perkataannya)

Perbuatan mereka itu menyelisihi syari’at Allah. Yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya ketika tertimpa musibah (jika baru menimpa) adalah bersabar, mengembalikannya kepada Allah dan mengharap balasan pahala, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,

وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥   اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦ اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan kabarkanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[al-Baqarah/2: 155-157]

Di dalam hadits shahih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlan dari (ajaran) kami siapa yang menampar-nampar wajah, mencabik-cabik pakaian dan berdoa dengan doa jahiliah (ketika ditimpa musibah).”

Sabdanya yang lain,

أنا بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ

“Aku berlepas diri (tidak ridha) dari wanita yang meraung-raung, memotong rambut dan mencabik-cabik pakaian (ketika ditimpa musibah).” [Hadits riwayat Muslim]

Sabdanya,

النَّائِحَة إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْل مَوْتهَا تقام يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَعَلَيْهَا سِرْبَال مِنْ قِطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرْب

“An-Naaihah (wanita yang meratapi mayit) jika belum bertobat sebelum mati, pada hari kiamat akan dibangkitkan berpakaian dari ter (aspal) dan baju tameng dari kudis .”

Sabdanya pula.
Tidaklah seorang muslim apabila ditimpa musibah kemudian mengatakan,

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ, اللهم أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

‘Sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah dan kepada-Nyalah ia berpulang. Ya Allah berilah ganjaran pahala atas musibah yang menimpaku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik.’

Melainkan akan Allah ganjar dia (dengan pahala) atas musibah yang menimpanya dan digantikan dengan yang lebih baik.[Hadits riwayat Muslim]

Sabdanya yang lain,

أَرْبَع فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْر الْجَاهِلِيَّة لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْر فِي اْلأَحْسَاب ، وَالطَّعْن فِي اْلأَنْسَاب ، وَالاِسْتِسْقَاء بِالْأَنْوَاءِ ؛ وَالنِّيَاحَة

“Ada empat hal pada ummatku dari perkara jahiliah yang tidak ditinggalkan: berbangga dengan suku, mencela keturunan, meminta hujan dengan bintang dan meratapi mayat.”

Lalu bagaimana jika ditambah lagi dengan menzalimi mukmin lain, melaknat, mencela mereka, membantu pelaku perpecahan dan kekafiran mencapai maksud mereka merusak agama ini serta hal-hal lain yang tidak dapat dihitung selain oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari apa yang dihiasi setan kepada pengikut kesesatan dan keburukan adalah menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, meratap dan mengeluh, melantunkan kosidah-kosidah atau nasyid-nasyid kesedihan dan riwayat berita-berita yang penuh dengan kedustaan. Kejujuran yang tersisa hanyalah memperbaharui kesedihan dan kefanatikan, membangkitkan kebencian serta permusuhan, menyusupkan fitnah di tengah kaum muslimin dan menjadikannya wasilah mencaci orang-orang soleh generasi pertama serta memperluas kedustaan dan fitnah dalam agama ini.

Kaum muslimin tidak mengetahui yang lebih banyak kedustaan, fitnah dan penghianatannya terhadap Islam daripada kelompok sesat lagi menyimpang ini. Mereka lebih buruk daripada Khawarij yang keluar dari Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Memerangi ahli Islam dan membiarkan penyembah berhala.”

Mereka membantu kaum Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik memerangi ahlulbait Nabi dan ummatnya yang beriman. Sebagaimana bantuan mereka terhadap kaum musyrikin, musuh Islam di Baghdad (Irak) dan tempat-tempat lain. Memerangi keluarga Nabi yang merupakan tambang risalah, putra Abbas Ibnu Abdul Muthalib dan selain mereka dari ahlulbait serta kaum mukminin. Membantai anak-anak dan menghancurkan tempat tinggal. Keburukan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak dapat dihitung lagi.

Mereka ini adalah kelompok Rhafidhah (Syi’ah), yang paling terkenal dalam mencela dua khalifah ar-Rasyidin; Abu Bakar dan Umar (semoga Allah meridhai keduanya). Mereka melaknat, membenci dan mengkafirkan keduanya (kita berlindung kepada Allah). Oleh karena itu, ketika Imam Ahmad ditanya, “Siapa Rafidhah itu?” beliau menjawab, “Adalah mereka yang mencela Abu Bakar dan Umar.”

Karena itulah mereka dinamakan Raafidhah[4]. Mereka menolak Zaid bin Ali (ahlulbait) yang loyal kepada dua khalifah, Abu Bakar dan Umar (semoga Allah meridhai keduanya) karena kebencian mereka kepada keduanya. Mereka yang benci dua khalifah ini adalah Raafidhah. Ada pula yang mengatakan bahwa dinamakan Raafidhah[5] karena mereka menolak Abu Bakar dan Umar (Allah meridhai keduanya).

Raafidhah ini asalnya adalah kaum munafikin lagi zindik. Dipelopori oleh Abdullah bin Saba’ (Yahudi Yaman) yang zindik, dia menampakkan penghormatan yang berlebihan terhadap Ali ra, dengan mengklaim bahwa Ali diangkat sebagai imam dengan nas dan menyatakan kemaksuman Ali Radhiyallahu anhu (terjaga dari dosa).

Karena pondasinya adalah kemunafikan, sehingga sebagian salaf mengatakan, “Kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar adalah wujud keimanan dan membencinya adalah kemunafikan. Mencintai Bani Hasyim adalah iman dan membencinya adalah kemunafikan.”

Kelompok inilah yang dideskripsikan oleh Saikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan: “Kelompok Rafidhah (Syi’ah) adalah ummat yang tidak memiliki akal yang jelas, tidak pula naql (sumber rujukan) yang shahih (benar), tidak pula agama yang diterima, tidak juga dunia yang ditolong. Bahkan mereka adalah kelompok yang paling banyak berdusta dan bodoh. Agama mereka yang masuk ke dalam tubuh kaum muslimin adalah kezindikan dan kemurtadan. Sebagaimana masuknya agama Nasrani, Ismailiah dan selain mereka. Mereka dengan sengaja memusuhi orang-orang pilihan ummat dan kepada musuh Allah dari kaum Yahudi, Nasrani dan musyrikin mereka loyal. Dengan sengaja menolak kejujuran yang terang lagi tak dapat disangkal, dan kedustaan yang nyata yang mereka buat serta  mereka perjuangkan.

Mereka sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Sya’bi (semoga Allah merahmatinya): “Orang yang paling pintar diantara mereka jika mereka itu dari bangsa hewan adalah keledai, jika dari bangsa burung maka ia adalah burung pemakan bangkai.

Adapun sekarang ini, sebagian yang mengklaim sebagai muslimin di beberapa negara menyambut bulan Muharram dengan kesedihan, kegundahan, khurafat dan kebatilan-kebatilan. Mereka membuat keranda dari kayu dihiasi kertas warna-warni yang dinamakan dengan kubur al-Husain atau Karbala. Juga membuat dua kubur dan dinamakan sebagai takziah. Anak-anak berkumpul dengan pakaian, bunga-bungaan atau dedaunan dan menamakan mereka sebagai fuqoro al-Husain (yang berhajat kepada al-Husain).

Pada hari pertama bulan Muharram mereka menyapu rumah, mandi dan bersih-bersih. Kemudian dihidangkan makanan dan dibacakan surat al-Fatihah, permulaan surat al-Baqarah, surat al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, shalawat kepada Nabi, lalu menghadiahkan pahala makanan tersebut kepada orang-orang yang telah mati.

Pada bulan ini dilarang berhias. Para wanita tidak memakai perhiasannya, tidak makan daging, tidak mengadakan perayaan dan pesta, bahkan tidak mengadakan akad nikah, istri tidak boleh berhubungan dengan suaminya bila umur pernikahan belum melewati dua bulan, memperbanyak memukul wajah dan dada, mencabik pakaian, meratap dan mulai melaknat Muawiah dan para sahabatnya, Yazid serta para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di sepuluh hari pertama bulan Muharram, api dinyalakan dan manusia menglilinginya. Anak-anak pawai dijalan-jalan sambil berteriak-teriak: ‘Ya Husain, ya Husain’. Semua bayi yang dilahirkan pada bulan ini dianggap kesialan, dan pada sebagian wilayah beduk dan kentongan dipukul-pukul, musik dimainkan dan bendera dipasang. Keranda diletakkan lalu para lelaki, wanita dan anak-anak lewat dibawah keranda itu. Mereka mengusap-usapnya dengan bendera dan bertabaruk (mengharapkan barokah), meyakini bahwa hal itu akan membuat mereka tidak terkena penyakit dan dapat memanjangkan umur.

Di sebagian negara yang lain, orang-orang keluar pada malam Asyuro, para lelaki begadang menyusuri jalan-jalan. Jika matahari akan terbit barulah kembali ke rumah-rumah mereka.

Pada hari Asyuro mereka memasak masakan khusus. Para penduduk desa dan kota berduyun mendatangi suatu tempat yang mereka namakan dengan ‘Karbala’ untuk melakukan towaf (mengelilingi) keranda yang mereka buat dan bertabaruk dengan keranda itu dengan wasilah bendera, menabuh beduk dan gendang. Bila matahari tenggelam, keranda tersebut dikubur atau ditenggelamkan ke dalam air dan orang-orangpun kembali kerumahnya masing-masing. Sebagian orang duduk-duduk di jalan-jalan sambil minum minuman yang mereka namakan as-Salsabil dan membagi-bagikannya kepada orang-orang secara gratis. Sebagian orang yang dianggap bijak pada sepuluh hari pertama bercerita tentang kelebihan-kelebihan al-Husain, sedangkan keburukan-keburukan ditimpakan kepada Muawiah serta Yazid (yang juga ahlulbait) dengan tidak lupa menumpahkan sumpah serapah kepada keduanya dan para sahabat.

Mereka meriwayatkan keutamaan hari Asyuro dan bulan Muharram dengan hadits-hadits palsu dan lemah juga dengan riwayat-riwayat dusta. Empat puluh hari setelah hari asyuro mereka melakukan perayaan sehari penuh yang mereka namakan al-Arba’in. Pada hari itu mereka mengumpulkan dana, dengan dana itu mereka membeli makanan khusus dan mengundang orang-orang untuk datang mencicipinya.

Bid’ah seperti ini dilakukan di India dan Pakistan serta negara-negara yang didominasi syi’ah. Terlebih lagi di Iran dan Iraq serta Bahrain.

Perayaan hari berkabung, ratapan, keluhan, membuat dokumentasi acara, memukul-mukul dada dan hal-hal lain yang biasa dilakukan pada hari asyuro dan sebelumnya di bulan-bulan haram diyakini sebagai pendekatan diri kepada Allah dan dapat menghapus seluruh dosa yang terjadi pada tahun sebelumnya. Mereka tidak sadar kalau apa yang mereka lakukan jusru mengharuskan penolakan dan menjauhkan mereka dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sangat benar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam kitab-Nya,

اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهٗ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ فَرَاٰهُ حَسَنًاۗ فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَصْنَعُوْنَ 

“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” [Faathir/35: 8]

Dan firman-Nya,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ ١٠٣ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” [al-Kahfi/18:103-104]

Bid’ah Kebahagiaan Pada an-Nawashib.
Sebelumnya pembahasan mengenai bid’ah kesedihan di hari Asyuro pada Syi’ah. Pada pembahasan ini (dengan izin Allah) kita akan membahas mereka yang berseberangan dengan Rafidhah/Syia’ah, yang menjadikan hari Asyuro sebagai musim (moment) kebahagiaan. Mereka adalah Nawashib yang ekstrim membenci al-Husain dan ahlulbait Nabi. Orang-orang bodoh yang menghadapi kerusakan dengan kerusakan, kedustaan dengan kedustaan, kejelekan dengan kejelekan dan bid’ah dengan bid’ah. Mereka membuat-buat keterangan palsu mengenai syi’ar kebahagiaan dan kegembiraan di hari Asyuro; seperti bercelak, mengecat kuku, melebihkan uang belanja keluarga, memasak masakan diluar kebiasaan dan lain sebagainya yang biasa dilakukan pada hari-hari perayaan. Yang akhirnya mereka menjadikannya musim (hari besar) seperti hari-hari besar perayaan dan kebahagiaan.

Mereka ini pertama kali muncul pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Sa’id al-Khudri ra berkata, “Ali diutus kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa emas. Maka Nabi membagikannya kepada empat kelompok: kepada al-Aqro bin Habis al-Handzoli, al-Mujasyi, Uyainah bin Badar al-Fazari, Zaid at-Tho’i, kepada salah seorang dari Bani Nabhan dan al-Qomah bin ‘Alatsah al-Aamiri dari bani Kilab.

Para sahabat Quraisy dan Anshar tidak terima dengan pembagian itu dan berkata: “Beliau membagi pembesar-pembesar Najed dan mengabaikan kami.” Nabi menjawab, “Aku memberikannya untuk meluluhkan hati mereka.” Maka majulah seorang lelaki yang cekung kedua matanya, tebal pipinya, menonjol keningnya, lebat jenggotnya dan botak kepalanya[6]. Dia berkata, “Takutlah kepada Allah, wahai Muhammad!” Nabi menjawab, “Siapa yang akan mentaati Allah jika aku bermaksiat kepada-Nya? Bagaimana Allah memberi kepercayaan kepadaku atas penduduk bumi, tetapi kalian tidak?!” Maka salah seorang sahabat meminta izin untuk membunuh (memenggal leher lelaki itu) (saya kira Khalid bin al-Walid Radhiyallahu anhu[7]) tetapi Nabi  melarangnya. Setelah lelaki itu berlalu kemudian Nabi bersabda, “Sesungguhnya dari keturunan orang itu (dibelakang orang itu) akan ada kaum yang membaca al-Quran tetapi tidak melebihi tenggorokannya. Mereka keluar dari agama seperti tembusnya anak panah dari buruannya. Mereka memerangi pemeluk Islam tetapi membiarkan penyembah berhala. Jika aku sempat menjumpai mereka, niscaya aku akan memerangi mereka seperti memerangi kaum ‘Aad[8].

Dalam riwayat Muslim: “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tengah membagikan harta rampasan perang. Datang kepada beliau Zul Khuwaisiroh (yang berasal dari Bani Tamim). Dia berkata, “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Celaka kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak adil. Sungguh tertipu dan merugilah aku jika tidak berbuat adil.” Umar Ibnu al-Khatthab Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal kepalanya!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Biarkan dia, sesungguhnya dia memiliki teman-teman yang sebagian kalian akan merasa shalatnya dan puasanya lebih rendah dibanding shalat dan puasa mereka, mereka membaca al-Quran tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam seperti tembusnya anak panah dari objek buruannya. Ia (berusaha) melihat pada kait panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke sambungan batang panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, , kemudian melihat kepada mata panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke bulu yang terpasang di pangkal anak panah tetapi tidak mendapati bekasnya, karena cepatnya panah tersebut sehingga tidak ada bekas kotoran maupun darahnya. Ciri atau tandanya diantara mereka ada seorang lelaki hitam yang salah satu buah dadanya seperti perempuan atau seperti daging tumbuh yang menggelayut, mereka keluar ketika terjadi perpecahan di tengah manusia

Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengar berita itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan (setelah Nabi wafat) aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memerangi mereka dan akupun berperang bersamanya. Ali minta orang yang disebutkan cirinya oleh Nabi dihadirkan, sehingga dicarilah orang itu dan ditemukan. Ketika didatangkan kepadanya aku melihatnya sebagaimana ciri-ciri yang disebutkan Nabi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kala itu di Kuffah terdapat kaum Syi’ah yang memperjuangkan al-Husain, dipimpin oleh al-Mukhtar bin Ubaid al-Kadzaab. Sedangkan kelompok an-Nashibah membenci Ali dan keturunannya. Diantara mereka yang membenci Ali adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Telah falid dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan ada di daerah Tsaqif pendusta lagi pembinasa “ dan kala itu dialah pendusta itu, dan pembenci Ali inilah yang binasa.

Kelompok pertama membuat-buat kesedihan. Sedangkan kelompok yang satunya lagi membuat-buat kebahagiaan. Bid’ah yang pertama berasal dari fanatik berlebihan kepada al-Husain ra, sedangkan asal bid’ah yang satunya lagi yaitu fanatik bathil dalam membenci al-Husain, kedua bid’ah ini sesat. Tidak ada seorangpun dari Imam yang empat atau selain mereka yang membenarkan kedua kelompok tersebut. Mereka yang menganggap baik perbuatan tersebut tidaklah memiliki hujjah yang syar’i (dalil dari syari’at).

Tidak diragukan bahwa kelompok Nawashib (yang berlebihan dalam membenci ahlulbait) demikian pula Rafidhah/syi’ah (yang berlebihan dalam mencintai ahlulbait) telah berbuat bid’ah dan kesalahan dalam amalan mereka, menyimpang dari sunnah Nabi. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rashidin (pengganti yang mendapat petunjuk) setelahku. Berpegangalah dengan petunjuk itu dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan atas kalian meninggalkan amalan yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa ar-Rasyidin tidak menyunnahkan (mengajarkan) sesuatupun dari hal-hal yang mereka perbuat pada hari Asyuro; tidak bersedih dan berkabung tidak pula bergembira dan berbahagia. Ketika Nabi tiba di kota Madinah, beliau mendapatkan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa (alaihi salam) dari tenggelam di lautan, karenanya kami memuasainya. Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian.” Maka beliaupun berpuasa pada pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa pada hari itu juga.

Bangsa Quraisy jahiliah dahulu juga mengagungkannya (berpuasa pada hari Asyuro).

Hari yang diperintahkan untuk dipuasai adalah satu hari Asyuro itu saja. Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabiulawal. Di tahun berikutnya beliau baru memuasainya dan memerintahkan ummatnya untuk memuasainya juga. Kemudian turun perintah wajibnya puasa Ramadhan pada tahun yang sama, sehingga dihapuslah puasa Asyuro –maksudnya tidak lagi diwajibkan-.

Ulama telah berbeda pendapat apakah puasa Asyuro wajib atau mustahab (disukai) menjadi dua pendapat. Yang paling benar adalah bahwa pada mulanya diwajibkan tetapi kemudian menjadi istihbab (disukai).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak (lagi) memerintahkan seluruh ummatnya untuk memuasainya, beliau hanya bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

“Sekarang adalah hari Asyuro, Allah tidak mewajibkan atas kalian memuasainya, sedangkan aku memuasainya, siapa yang berkehendak silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak silahkan berbuka (tidak puasa).” [Mutafak alaih]

Dan sabdanya pula,

إِنَّ صَوْم عَاشُورَاء يُكَفِّر سَنَةً ، وَإِنَّ صِيَام يَوْم عَرَفَة يُكَفِّر سَنَتَيْنِ

“Puasa Asyuro menghapus dosa (kecil) selama setahun dan puasa Arafah menghapus dosa (kecil) selama dua tahun.”

Diakhir hayat Nabi, sampai berita kepadanya bahwa kaum Yahudi menjadikan Asyuro sebagai hari ‘Id (raya), sehingga Nabi bersabda,

لَئِنْ عِشْت إِلَى قَابِل لَأَصُومَن التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sunnguh aku akan memuasai (juga) hari kesembilan.” Untuk menyelisihi kaum Yahudi dan tidak menyerupai mereka menjadikannya sebagai hari raya.

Diantara sahabat Nabi dan ulama ada yang tidak memuasainya juga tidak menyukai memuasainya. Bahkan memakruhkan (membenci) jika memuasai hari Asyuro saja, sebagaimana yang dinukil dari sebagian ulama. Sedangkan sebagian lagi menjadikannya istihbab (disukai).

Yang shahih adalah istihbab (disukai) memuasainya. Dipuasai bersamaan dengan hari kesembilan karena itu adalah akhir perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan memuasainya, (juga) hari kesembilan‘.

Itulah yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun hal-hal lain seperti: menyediakan makanan diluar adat kebiasaan, baik makanan dari kacang-kacangan atau lainnya, membeli pakaian baru, melebihkan nafkah harian, berbelanja kebutuhan umum di hari itu, melakukan ibadah khusus seperti shalat tertentu, menyembelih sembelihan, menyimpan daging kurban sampai tiba hari Asyuro untuk dimasak bersama kacang-kacangan, bercelak, mencat (mencutek) kuku, mandi, bersalam-salaman, saling mengunjungi, menziarahi masjid atau tempat-tempat tertentu dan lain sebagainya merupakan bid’ah yang mungkar, yang tidak disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula Khulafa as-Rasyidin, bahkan tidak pula dianggap mustahab (kebaikan) oleh seorangpun Imam kaum muslimin yang masyhur.

Yang wajib adalah mentaati Allah dan Rasulnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti agama dan jalan yang telah ditentukan. Mencukupi diri dengan petunjuk dan apa yang telah diajarkan. Hendaklah bersyukur atas besarnya nikmat yang telah diberikan.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Ali Imraan/3:164]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خَيْرَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَي هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) adalah sesat.”

Sumber:
Kitab Al-Bid’ah al-Hauliah ditulis oleh Abdullah at-Tuwaijri yang merupakan thesis S2 untuk mendapat gelar Magister di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiah dan dia meraih nilai sangat memuaskan pada tahun 1406 H.

[Disalin dari  البدع التي أحدثت في شهر محرم   Penulis  Syaikh Abdullah at-Tuwaijri, Penerjemah : Syafar Abu Difa , Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] Mengangkatnya menjadi pemimpin kaum muslimin menggantikan ayahnya -pent.
[2] Al-Hasan adalah cucu Rasulullah, beliau menggunakan kata anak maksudnya keturunan -pent.
[3] Dua kubu ini adalah kubu yang membaiat Muawiah dan kubu yang membaiat al-Hasan. Bersatu dibawah kepemimpinan Muawiah setelah al-Hasan menyerahkan baiatnya kepada Muawiah -pent.
[4] Sekarang lebih dikenal dengan Syi’ah -pent.
[5] Raafidhah secara bahasa bermakna: penolak -pent.
[6] Di dalam kitab Fathul Baari disebutkan bahwa lelaki itu bernama Zulkhuwaisiroh at-Tamimi, ada pula yang mengatakan Hurqus bin Zuhair as-Sa’di –pent.
[7] Sebagian periwayat menyebutkan Umar. Tidak ada pertentangan dalam hal ini, karena mungkin saja keduanya hadir ketika itu dan mengusulkan hal yang sama ( Fathul Baari) –pent.
[8] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Khalid bin al-Walid membunuh Zul Khuwaisiroh  padahal beliau r sendiri berazam untuk memerangi mereka karena pada saat itu kelompok yang beliau sebutkan itu belum muncul memerangi kaum muslimin. Yang masyhur bahwa kelompok ini pertama kali muncul di masa kepemimpinan Ali Radhiyallahu anhu (Fathul Baari) –pent.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/59413-bidah-bidah-di-bulan-muharram.html